Untuk Kemandirian Bangsa, Arifin Panigoro Ajak Atasi Jebakan Pangan dan Krisis Pangan
Written on 14.27 by rain
Laporan oleh: Anton Sumantri
[Unpad.ac.id, 2/09] Bukan rahasia lagi jika bumi Indonesia itu subur. Bukan rahasia pula jika banyak sekali keanekaragaman hayati menjadi kekayaan alam Indonesia. Namun kini faktanya segala macam kekayaan Indonesia dipandang belum mampu memberikan kemakmuran bagi rakyatnya dan membuat negara ini maju. Apa yang salah? Apa yang luput dari perhatian kita semua?
Pertanyaan tersebut muncul dalam kuliah umum Arifin Panigoro, pendiri Medco Group, di kampus Fakultas Pertanian (Faperta) Unpad, Jatinangor, Selasa (1/09). Medco Group merupakan salah satu perusahaan besar berskala internasional yang didirikan oleh pengusaha Indonesia. Kuliah tersebut dilaksanakan untuk menambah wawasan kepada sarjana pertanian serta dalam rangka menyemarakkan Dies Natalis Faperta Unpad ke-50. Dalam acara tersebut, tampak hadir Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia, Dekan Faperta, Prof. Dr. Ir. Hj. Yuyun Yuwariah, sejumlah alumni dan segenap sivitas akademika Unpad.
Menurut Arifin, ironi tersebut timbul karena Indonesia masuk dalam jebakan pangan (food trap). Disebut jebakan karena potensi pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri belum teroptimalkan, sementara konsumsi terus berlanjut. Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi negara pengimpor.
Lebih lanjut Arifin mengatakan, terdapat dua masalah besar yang mengikis kemandirian pangan Indonesia. “Pertama berupa jebakan pangan atau food trap. Gangguan ini harus ditanggulangi, khususnya oleh pemerintah yang akan dilantik Oktober 2009 nanti. Jika kita terus masuk ke dalam jebakan ini, kesejahteraan rakyat menjadi taruhannya,” ungkapnya.
Seperti yang telah diketahui, pergerakan harga komoditas pangan dunia dipengaruhi oleh perekonomian dunia. Begitu pula dengan ulah para spekulan yang kerap menjadikan beban pada konsumen semakin bertambah. Sejatinya kesuburan tanah bukan jaminan adanya nilai tambah (value added). Hal ini bisa dilihat dengan memperhatikan tingkat kesejahteraan pedagang yang cenderung lebih tinggi daripada petani.
“Coba lihat Singapura, kita tahu bahwa negara terebut tidak mempunyai lahan yang luas. Tapi baru-baru ini Nestle berinvestasi di sana dengan membangun pabrik hidrokarbon sawit senilai US$ 1,2 miliar. Ini jelas sebuah inovasi energi dari bahan pangan yang memerlukan komitmen besar dari pemerintah dan segenap masyarakat,” ungkapnya lebih lanjut.
Contoh lain dari negara yang mengejar value added adalah Brazil. Negeri “Tari Samba” itu mampu menjadi negara pengekspor berbagai komoditas pertanian nomor 1 di pasar dunia. Bahkan akhir-akhir ini Brazil dikenal sebagai jawara biofuel. Hal ini dipicu kesadaran bangsa untuk menghindari krisis pangan, bebas dari kebutuhan impor yang membebani rakyatnya.
Masalah kedua yang dialami Indonesia saat ini, menurut Arifin, adalah food crisis. Sebagai seorang pengusaha, Arifin mengatakan bahwa menurut intuisi bisnisnya, kenaikan harga gula pasir yang mencapai angka Rp. 10.000,- per kilogram akhir-akhir ini merupakan sinyalemen dari krisis pangan. Pemerintah harus tanggap dan cekatan dalam menghadapi masalah ini. Sinyalemen lainnya adalah prediksi adanya El Nino yang akan menyebabkan produksi gandum mengalami penurunan hingga 40%. Berita ini ditanggapi oleh Amerika Serikat, China dan Australia dengan meningkatkan stok gandumnya.
“Jika kita lengah dan tidak memperhatikan sinyalemen ini, ketika ancaman anjloknya panen gandum menjadi kenyataan, maka harga komoditas ini pun melambung tinggi dan rakyat kembali menjadi korban,” sambungnya.
Hal ini menimbulkan pemahaman bahwa tidak hanya jebakan pangan saja, namun faktor cuaca pun menjadi penentu. Selain itu pertumbuhan penduduk Indonesia yang kian hari kian meningkat menjadi faktor pendukung lainnya. Arifin menambahkan, kunci sukses agar kemandirian pangan bangsa tercapai adalah inovasi. Semangat untuk membuat terobosan-terobosan baru yang inovatif dalam bidang pertanian sangat diperlukan.
“Bukan saatnya berpangku tangan dan marah-marah di media menghadapi masalah ini. Kita harus melihat hal ini sebagai sebuah tantangan. Indonesia adalah negara yang luas, masih banyak lahan yang bisa ditanami komoditas pertanian. Ada baiknya lahan yang telah tertanami dan potensi ekspansi segera kita identifikasi dengan benar Akurasi data menjadi kunci awal untuk langkah pembuka pengembangan pertanian berbasisi lahan tersebut,” imbuhnya.
Dari data Departemen Kehutanan yang dikutip Arifin, ditemukan fakta bahwa adanya puluhan juta hektar lahan kritis. “Jika inovasi teknologi peruntukan lahan kritis dikembangkan, dan memang harus kita kembangkan, maka potensi lahan untuk pertanian dan perkebunan bisa berlipat ganda besarnya. Jika data tersebut akurat, maka terdapat 70-an juta hektar lahan kritis. Ini artinya setara dengan 7 kali luas pulau Jawa! Kalau kita ada semangat berinovasi, maka masalah kemandirian pangan dengan ketersediaan lahan tersebut mestinya dapat teratasi. Bahkan Indonesia bisa menjadi lumbung dunia!” pungkasnya. (eh)*
If you enjoyed this post Subscribe to our feed