EUTANASIA

Written on 10.41 by rain

BAB 1

PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

Di suatu negara di Barat pernah ada lembaga yang melakukan kampanye mati sukarela "kematian sukarela" (eutanasia) terhadap kaum manula. Siapa saja yang mau meninggal, bisa segera mendaftar, kemudian tinggal menunggu waktu eksekusinya.

Menurut mereka, para aktivis kedokteran harus berhenti memainkan peranan tradisionalnya sebagai penyelamat kehidupan, kalau memang si pasien ternyata berusia lanjut serta hanya akan membebani masyarakat saja.

Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.

Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba.

Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.

    1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana Eutanasia dipandang dari sudut etika, moral, hokum, serta agama Katilok.

  2. Sejauh mana Eutanasia diperbolehkan dan tidak di perbolehkan di Indonesia.

  3. Apakah dasar Biblisnya

  4. Bagaiman iman katolik memandangnya.

    1. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah telaah pustaka dan pengumpulan data penunjang dengan langkah – langkah sebagai berikut :

a. Pengumpulan data melaui media internet.

b. Analisis Informasi, yaitu :

1. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data berdasarkan permasalahan yang dibahas.

2. Klarifikasi data, yaitu membandingkan data yang sama dari sumber yang berbeda kemudian menentukan data yang dipakai berdasarkan informasi yang akurat.

c. Penulisan makalah dari hasil interpretasi data dari hasil sumber tertulis yang

dirangkai secara sistematis dan logis dalam bentuk makalah.

    1. Maksud dan Tujuan Penulisan

Maksud dan tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk membuka wawasan saya dalam praktek dan latihan penulisan ilmiah yang benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang telah disempurnakan. Dengan kata lain, makalah ini saya susun untuk memenuhi proses belajar-mengajar dalam Matakuliah Agama Katolik Universitas Padjadjaran Bandung. Terlepas dari itu, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk membuka pemahaman saya akan eutanasian yang dipandang dari berbagai sudut yang akan saya jelaskan.

    1. Manfaat Penulisan

Dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai Eutanasia dan dampak – dampak serta siasat dan penanggulangan terbaik untuk penyelesaian masalah yang berhubungan dengan hal tersebut



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

  1. Arti Eutanasaia

Kata eutanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani. Eu berarti baik atau layak. Thanatos berarti mati. Jadi secara harafiah eutanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak. Atau euthanatos (kata sifat) yang berarti mati dengan mudah.Secara etimologis, eutanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang tanpa penderitaan yang hebat.

Dewasa ini orang menilai eutanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul maut. Kadang-kadang proses “meringankan penderitaan” ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, eutanasia dipahami sebagai mercy killing,[2] membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap anak tak normal, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tak bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.

Dari perjalanan arti eutanasia sendiri kelihatan adanya suatu pergeseran arti. Eutanasia yang pada awalnya berarti kematian yang baik, dewasa ini diartikan sebagai tindakan untuk mempercepat kematian. Kiranya penting memahami arti eutanasia itu sendiri sebelum dinilai secara etis maupun moral. Oleh karena itu, kiranya perlu dilihat arti eutanasia menurut Gereja. Dalam arti tertentu, kalau Gereja menyerukan anti eutanasia, kita tahu dengan pasti apa yang dimaksud dengan eutanasia itu sendiri. Gereja sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh kongregasi suci untuk ajaran iman mendefinisikan eutanasia sebagai sebuah tindakan atau tidak bertindak yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan rasa sakit. Jadi eutanasia dilihat pada taraf intensi dan juga metode yang dipakai. Dalam bahasa inggris dikatakan demikian:

Arti eutanasia yang diberikan oleh kongregasi suci pada tahun 1980 ini dikutip kembali oleh Dewan para uskup Kanada untuk menentukan mana yang dianggap eutanasia dan mana yang bukan pada tahun 1994. Dewan para uskup Kanada itu menyebutkan bahwa sebuah suntikan yang mematikan merupakan salah satu contoh tindakan eutanasia. Orang sering menyebut injeksi yang mematikan ini sebagai eutanasia aktif. Dengan demikian pengertian eutanasia dalam Gereja Katolik menyangkut tiga hal yaitu: pertama, sebuah tindakan atau tidak berbuat kedua, dengan intensi pada kematian seseorang, dan ketiga dengan maksud mengahkiri penderitaan seseorang. Oleh karena itu, penilaian atas sebuah tindakan sebagai eutanasia atau tidak terletak pada intensi dan tindakannya.

  1. Sejarah Eutanasia

2.2.1. Lingkup budaya Yunani-Romawi Kuno.

Pemahaman eutanasia dalam era ini dapat dilihat dalam beberapa pandangan beberapa tokoh kuno.

  1. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300an sebelum Masehi, menulis dalam karyanya, “dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengartikan euthanasia sebagai ‘kematian tenang dan baik’ (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini 100). Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi. Dalam tulisannya tentang Kaisar Agustus, ia mengatakan demikian: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya ‘eutanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus 99)

  2. Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah euthanasia dalam arti ‘kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan’ (Surat kepada Atticus 16.7.3).Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M malah menganjurkan: ‘lebih baik mati daripada sengsara merana”.

2.2.2. Zaman Renaissance

Pada zaman renaissance, pandangan tentang eutanasia diwakili oleh pendapat dari Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan eutanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan eutanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam “the Best Form of Government and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan.

2.2.3. Abad XVII-XX

David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan eutanasia. Tahun 20-30an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah eutanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan eutanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengahkiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T 4 dengan dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.

2.2.4. Dewasa ini.

Di Belanda, pengadilan Lwuwarden 21 Februari 1973 menjatuhkan pengadilan simbolis seminggu penjara atas dokter Geertruide Postma Van Boven yang pada tanggal 19 Oktober 1971 atas permintaan ibunya sendiri yang berusia 78 tahun dan sakit tak tersembuhkan mengahkiri hidup ibunya dengan memberikan 200 mg morfin.

Di Amerika, Br. Joseph Charles Fox, tanggal 2 Oktober 1983 sewaktu menjalani operasi hernia, pernafasannya terhenti dan mengakibatkan anoxia celebral batang otak. Ia dibantu dengan respirator. Para dokternya menyimpulkan, ia dalam kondisi permanent Vegetative Stage (PVS). Superiornya, Philip K. Eichner, setelah berkonsultasi dengan sanak saudara Br. Fox minta penghentian respirator. Rumah sakit dan distrik Attorney menolak tetapi Supreme Court mengabulkannya.

2.3. Beberapa Makana Eutanasia

2.3.1 Eutanasia agresif

Eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.

2.3.2 Eutanasia non agresif

Eutanasia non agresif disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Autoeutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.

2.3.3 Eutanasia pasif

Eutanasia pasif juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif dimana tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis.

2.4 Ditinjau dari sudut pemberian izin

  1. Eutanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

  2. Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.

  3. Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal controversial

2.5 Beberapa kasus Eutanasia

  1. Kasus Hasan Kusuma – Indonesia

Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

  1. Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat

Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).

  1. Kasus Terri Schiavo

Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

  1. Kasus "Doctor Death"

Dr. Jack Kevorkian yang dijuluki ”Doctor Death”, seperti dilaporkan Lori A. Roscoe . Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale ,di California diduga puluhan pasien telah ”ditolong” oleh Kevorkian untuk menjemput ajalnya di RS tersebut. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi ”menolong” mereka. Tapi para penentangnya menyebut, apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.

  1. Kasus rumah sakit Boramae - Korea

Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan. dr Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. 1 minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.


BAB III

PEMBAHASAN


  1. Aborsi Dilihat Dari Sudut Etika

Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.

Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan orang lain.

Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.

Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.

Euthanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP," kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Farid Anfasal Moeloek saat dihubungi Tempo, Selasa (5/10).

Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.

Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan" (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa Negara.

  1. Aborsi Dilihat Dari Sudut Moral

Dalam menilai masalah euthanasia, perlu disadari bahwa masalah euthanasia amat kompleks. Masalah euthanasia tidak pernah berdiri sendiri tetapi selalu berkait dengan soal lain, misalnya sosial, politik dan ekonomi. Di sini, hanya disajikan premis untuk penilaian euthanasia dari segi moral kehidupan.

  1. Pandangan mengenai hidup

Euthanasia pada dasarnya berkaitan dengan hidup itu sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri amat menentukan sikap dan pilihan atas euthanasia. Yang dibahas di sini adalah pandangan hidup secara etis dan teologis

  1. Hidup sebagai anugerah

Banyak peristiwa dalam hidup kita mengatasi perhitungan dan perencanaan manusia (kemandulan, kesembuhan atau kematian di luar dugaan) dan menimbulkan keyakinan bahwa hidup itu pada akhirnya adalah anugerah. Memang manusia meneruskan atau mewariskan kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri tidak berasal dari padanya, melainkan dalam bahasa religius dari Tuhan sebagai pencipta dan sumber kehidupan. Dibandingkan dengan Tuhan, hidup manusia itu kontingen, dapat ada, dapat tidak ada, tetapi memang de facto ada karena diciptakan Tuhan. Deklarasi tentang euthanasia sendiri menegaskan hal ini dengan mengutip perkataan Santo Paulus ”Bila kita hidup, kita hidup bagi Tuhan, bila kita mati, kita mati bagi Tuhan. Apakah kita hidup atau mati, Kita adalah milik Tuhan (Rom 14:8 bdk. Fil1:20)”.

Manusia bukanlah pemilik mutlak dari hidupnya sendiri. manusia administrator hidup manusia yang harus mempertahankan hidup itu. Dengan demikian, manusia tidak mempunyai hak apapun untuk mengambil atau memutuskan hidup baik hidupnya sendiri maupun hidup orang lain. Euthanasia adalah bentuk dari pembunuhan tu karena euthanasia mengambil hidup orang lain atau hidupnya sendiri (assisted suicide). Euthanasia menjadi salah satu cermin di mana manusia ingin merebut hak prerogatif dari Allah sendiri yang adalah Tuhan atas kehidupan.

  1. Hidup sebagai nilai asasi yang sangat tinggi.

Dari sekian banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup merupakan nilai dasar. Tanpa hidup banyak nilai lainnya menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga merupakan nilai yang sangat tinggi, bahkan dalam arti tertentu juga nilai tertinggi di antara nilai-nilai dunia fana. Martabat hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam status “vegetatif” (PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.

  1. Hidup sebagai hak asasi dan nilai yang harus dilindungi.

Karena hidup merupakan anugerah dengan nilai asasi dan sangat tinggi, maka hidup merupakan hak asasi manusia dan karenanya juga harus dilindungi terhadap segala hal yang mengancamnya. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan perlindungan atas kehidupan ini:

the Church inteds not only to reaffirm the right to life–the violation of whic is an offense against the human person and against God the Creator and Father, the loving source of life – but she also intend to devote herself ever more fully to the concrete defense and promotion of this right.”

  1. Hidup sebagai tugas

Anugerah dan tugas bersifat korelatif, artinya hidup sebagai anugerah sekaligus berarti hidup mengembangkannya seutuhnya (menurut segala seginya, seperti biologis, fisik, psikis, kultural, sosial, religius, moral dan seterusnya). Dalam tugas mengembangkan kehidupan tersirat tanggung jawab dan hak untuk mempergunakan sarana-sarana yang perlu atau bermanfaat untuk memenuhi tugas itu sebaik-baiknya.

  1. Pandangan mengenai Penderitaan dan Kematian

Selain berkaitan dengan kehidupan, euthanasia juga berurusan dengan kematian. Maka perlu diperhatikan pula pandangan tentang kematian.

  1. Penderitaan sebagai beban atas anugerah hidup

Hidup memang anugerah, tetapi tak jarang anugerah ini dibebani kekurangan kualitas kehidupan berupa penderitaan. Memang penderitaan juga dapat mempunyai segi positif dan nilainya, tetapi secara manusiawi penderitaan pertama-tama dirasakan sebagai beban. Menurut ajaran kristiani, rasa sakit, terutama pada waktu meninggal, dalam rencana penyelamatan Allah mendapat makna khusus. Penderitaan merupakan partisipasi dalam penderitaan Kristus dan menghubungkan dengan kurban penebusan.

  1. Mati dan kematian sebagai keterbatasan anugerah.

Hidup memang anugerah, namun anugerah yang terbatas. Oleh karena itu hidup harus juga diterima dalam keterbatasannya yaitu kematian. Keterbatasan sebenarnya bukanlah keburukan, tetapi seringkali dirasakan sebagai keburukan, meskipun di lain pihak juga dapat diinginkan sebagai pembebasan. Soalnya sekarang ialah di mana batas itu, kapan saatnya tiba, sebab manusia dewasa ini makin mampu “menunda” saat kematian atau “memperpanjang hidup”.

  1. Penderitaan dan kematian dalam cahaya iman.

Pandangan ini tidak dimaksudkan sebagai hiburan murah, melainkan memang bersumber pada kekayaan iman yang mempunyai cakrawala yang jauh lebih luas daripada penalaran akal budi tanpa data dari wahyu kristiani. Gereja Katolik harus mempertimbangkan kematian sebagai sebuah peristiwa natural. Keterbatasan obat dan kondisi manusia harus dimengerti dengan baik. Tidak ada harapan bahwa kehidupan fisik dapat dijaga dengan seluruh biaya yang ada. Kita berharap bagaimana dalam kondisi serta pemahaman yang benar, orang dapat menerima kematian dengan ikhlas.

  1. Aborsi Dilihat Dari Sudut Hukum

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian.Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.

Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya?

Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Undang undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal-pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 345, dan 359. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:

  1. Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”

  2. Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.”

  3. Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”

  4. Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”

Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan,yang berbunyi:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPerdata tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.

Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun. Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk dibicarakan? Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.

Sebagai dampak dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok), kecuali manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum, sosial, budaya, & aspek lainnya.Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup & mati. Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.

Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan & jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis dia tergolong “hidup”, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis. Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut. Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan medis tersebut merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di masyarakat.

Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: “Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Definisi mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia.

Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.

Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.

  1. Aborsi Dilihat Dari Sudut Agama Katolik (Ajaran Biblis)

  1. Definisi Eutanasia Dalam Gereja Katolik

Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu.” Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: “Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung” (Evangelium Vitae, nomor 66).

Pada tanggal 5 Mei 1980, Paus Yohanes Paulus II (Kongregasi ajaran iman) mendeklarasikan Deklarasi Eutanasia dalam rangka menjawabi pertanyaan-pertanyaan para uskup yang berhadapan dengan masalah pastoral khususnya hidup mati seseorang dalam hubungannya dengan kemajuan medis yang ada di dunia ini; eutanasia. Deklarasi itu terdiri atas 4 bab pendek. Bab pertama: nilai hidup manusia, bab kedua: pendefinisian dan pembahasan tentang eutanasia, bab ketiga: makna penderitaan, dan bab keempat yaitu penggunaan sarana terapi yang proporsional.

Dalam Deklarasi eutanasia itu, gereja mengutarakan empat definisi eutanasia yang digunakan gereja. Pertama arti etimologis yaitu kematian tenang, kedua intervensi medis untuk meringankan penderitaan seseorang dengan konsekuensi bahaya memperpendek hidup, ketiga mematikan seseorang karena belas kasihan dengan tujuan untuk mengurangi penderitaan orang sakit tak tersembuhkan, atau orang yang cacat, tak normal ataupun orang sakit jiwa yang oleh orang yang sakit maupun para pendukung eutanasia dikatakan membuat hidup tak bahagia dan hanya menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat, keempat tindakan atau pantang tindakan yang menurut struktur perbuatan ataupun menurut maksud perbuatan membawa kematian untuk mengakhiri penderitaan seseorang.

Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae (EV) juga membicarakan masalah eutanasia. Uraian penjelasan tentang eutanasia dalam EV didahului dengan uraian pandangan gereja tentang hidup manusia kemudian disusul dengan sikap gereja atas persoalan ini. Uraian itu tertuang dalam EV artikel 29 - 51, 57; 64 - 66.

Ensiklik Evangelium Vitae mendefinisikan eutanasia sebagai berikut menjadikan diri penguasa atas kematian dengan mendatangkan kematian sebelum saatnya dan dengan demikian menuyediakan akhir hidup secara lembut bagi orang lain atau diri sendiri (EV 64).

Dari definisi-definisi eutanasia dalam gereja itu merangkum merinci lebih jauh dan menambah pengertian-pengertian eutanasia yang sudah ada. Dalam menentukan hal ini, gereja berpegang pada prinsip hormat terhadap hidup sebagimana diajarkan Kristus. Pada akhirnya, hormat terhadap hidup menjadi dasar pandangan gereja dalam menanggapi masalah eutanasia.

Hidup manusia adalah dasar segala nilai sekaligus sumber dan persyaratan yang perlu bagi semua kegiatan manusia dan juga untuk setiap hidup bersama masyarakat. Kitab Suci memandang hidup manusia itu suci karena berasal dari Allah sendiri, “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7). Karena itu, pembunuhan orang lain tidak dibenarkan karena melawan hukum ilahi, “Jangan membunuh” (Kel 20:13). Hidup dan mati manusia berada di tangan Tuhan karena, “kita adalah milik Tuhan” (Rom 14:8; bdk. Fil 1:20). Hidup manusia itu suci karena sejak awal mula melibatkan karya penciptaan Allah dan hal ini tetap berlangsung selamanya dalam hubungan yang sangat khusus dengan Sang Pencipta yang adalah satu-satunya tujuan akhir hidup manusia. Kesucian manusia itu bukan hanya karena asal-usulnya dari Allah tetapi juga karena tujuan hidup manusia adalah kembali kepada-nya (penebusan). Karena itu, hidup manusia tidak boleh dilanggar (violated) dan dihancurkan, tetapi harus dilindungi, dijaga, dan dipertahankan.

Euthanasia dan bunuh diri merupakan penolakan terhadap kedaulatan Allah yang mutlak atas kehidupan dan kematian, seperti dinyatakan dalam doa Israel kuno, “Engkau berdaulat atas hidup dan mati; Engkau membawa kepada gerbang alam maut dan ke atas kembali” (Keb 16:13; bdk. Ayub 13:2).

Mencermati masalah eutanasia menurut kami sikap yang paling mendasar adalah menghormati kehidupan. Menghormati kehidupan berarti menjunjung tinggi kehidupan, tak pernah memaksudkan hal yang buruk atas hidup sendiri dan orang lain. Mungkin orang akan bertanya mengapa sikap dasarnya menghormati kehidupan? “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Mrk 8:37). Kekayaan seluruh dunia samasekali tidak sebanding dengan hidup. Dan “orang akan memberikan segala yang dipunyainyaganti nyawanya” (Ayb 12:15). Kehidupan amat berharga. Kehidupan merupakan dasar bagi manusia untuk berkembang melaksanakan panggilannya dan bisa menikmati rahmat-rahmat Allah yang lain. Bagaimana bila hidup seseorang sakit keras dan menderita serta keadaannya terminal dan bahkan diperkirakan dalam waktu dekat hidupnya akan berakhir karena kondisinya? Penderitaan dalam iman kristiani memiliki makna yang besar yakni ikut ambil bagian dalam sengsara dan wafat Kristus. Jadi penderitaan memiliki makna.

  1. Dasar Pandangan Gereja Katolik Tentang Eutanasia

Dalam menanggapi persoalan eutanasia, gereja mendasarkan pandangan dan sikapnya pada pandangannya sendiri tentang hidup manusia; suatu pandangan yang berlandaskan iman kristiani. Manusia adalah citra Allah, hidup manusia adalah anugerah Allah, kehidupan manusia adalah kudus, manusia adalah milik Allah dan Allah menghendaki hidup manusia dihormati bagaimanapun keadaannya. Jadi dasarnya adalah berhubungan dengan Yang Transenden bukan manusiawi belaka

  1. Manusia adalah Citra Allah

Manusia adalah citra Allah (Kej 1:27). Sebagai citra Allah manusia mampu mengenal dan mencintai PenciptaNya. Karena Allah Maha Tahu dan Maha Cinta. Dan manusia dipanggil supaya dengan kemampuan mengenal dan mencintai itu, mengambil bagian dalam kehidupan Allah. Karena itulah maka manusia memiliki martabat yang tinggi dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Manusia memiliki martabat seorang pribadi sebagaimana Allah juga pribadi. Karena itulah martabat dan hidup manusia harus dihormati dan manusia sebagai subyek dari hak-hak yang tak dapat diganggu gugat karena diterima dari Allah sendiri, saling menghormati hak-hak orang lain.

  1. Hidup Manusia adalah Anugerah Allah

Hidup manusia berasal dari Allah, diberikan oleh Allah, dan sesungguhnya Allah menjadi prinsip hidup manusia. Karena manusia tidak bisa mengadakan dirinya. Ia diadakan oleh Allah karena itulah Allah itu bagi manusia merupakan pemberi, asal, dan prinsip kehidupannya. Tetapi anugerah itu bukan berarti pasif artinya manusia hanya penikmat saja tanpa melakukan apa-apa. Manusia dengan kebebasannya tetap harus aktif untuk memanfaatkan dan menumbuhkembangkan anugerah itu sebaik mungkin. Jadi anugerah itu bagi manusia membawa konsekuensi suatu tugas dan tanggungjawab atas hidup.

Anugerah hidup yang amat tinggi dari Tuhan itu bukan berarti tak terbatas, anugerah itu terbatas bagi manusia dan harus dihayati dalam keterbatasan itu juga. Keterbatasan itu tampak pada misalnya: gangguan fisik dan psikis, kelemahan fisik dan psikis dll. Itu semua bagi manusia kerapkali menjadi beban yang amat berat. Namun keterbatasan itu, mengandung pengharapan janji hidup kekal.

  1. Manusia Adalah Milik Kristus (Allah)

Allah adalah penguasa hidup manusia karena itu, manusia tidak berkuasa atas hidup hidup matinya dan manusia harus menghormati dan mengasihi hidupnya dan orang lain. Allahlah yang berhak untuk mengambil atau meminta hidup manusia. Jadi Allahlah Allah atas hidup dan mati. Dia memiliki hak untuk menghidupkan dan mematikan manusia. Itu berarti manusia sama sekali tidak boleh mengakhiri hidup manusia dalam keadaan bagaimanapun.

  1. Kehidupan Manusia Adalah Kudus

Kekudusan hidup manusia itu disebabkan oleh relasi ketergantungannya dengan Allah yang kudus yang juga tujuan akhir hidup manusia. Konsekuensinya serupa dengan di atas yaitu manusia tidak berhak untuk mengakhiri hidup manusia secara langsung karena itu berarti menghentikan relasi manusia dengan Yang Kudus yang nota bene tak bisa dilepaskan oleh manusia. Menentang relasi kasih Allah terhadap manusia itu juga berarti menentang kasih Allah sendiri terhadap manusia.

  1. Pandangan dan Sikap Gereja Katolik tentang Eutanasia

Sikap Gereja sangat tegas menghadapi persoalan ini dan gereja sangat hati-hati dalam mengambil sikap. Moral gereja memberikan distingsi-distingsi yang tajam mana eutanasia yang boleh dilakukan dan mana yang tak boleh dilakukan dan moral gereja memberikan prinsip-prinsip yang tegas namun tetap mengandaikan kejujuran manusia yang melaksanakan prinsip-prinsip moral itu. Moral gereja Katolik membedakan eutanasia dalam dua hal eutanasia direk dan indirek. Dan moral gereja tetap memegang prinsip-prinsip ajaran Yesus sendiri soal hidup manusia.

Mencermati jalan pikiran gereja katolik dalam mendasarkan pandangannya tentang eutanasia terbersit kekaguman dalam diri kami. Dasar pandangan gereja amat kuat, dan cermat. Gereja juga memiliki prinsip dan sikap yang jelas dan tegas atas masalah eutanasia. Dan itu diutarakan secara cukup jelas, rinci, dan teliti.

Di mata teologi katolik manusia ditempatkan pada posisi yang tinggi; ditempatkan dalam relasinya dengan Allah sendiri. Karena itulah maka menggagas masalah “pemusnahan” hidup manusia (misalnya: eutanasia) tak dilepaskan dari relasi manusia dengan Allah.



BAB IV

PENUTUP


  1. Kesimpulan

  1. Dari sudut Etika

  1. Euthanasia tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja.

  2. Euthanasia tidak bisa disamakan dengan pembunuhan berencana.

  3. Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi belum tentu merupakan kebenaran, bahkan pelanggaran kebenaran pada aspek lainnya.

  4. Euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak azasi manusia, hukum, ilmu pengetahuan dan agama.

  5. Euthanasia pada dasarnya berkaitan dengan hidup itu sendiri. Pandangan tentang hidup itu sendiri amat menentukan sikap dan pilihan atas euthanasia.

  6. Hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.

  1. Dari sudut Moral

Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung maupun tidak kita dapat membantu si pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.

Dengan demikian, manusia tidak mempunyai hak apapun untuk mengambil atau memutuskan hidup baik hidupnya sendiri maupun hidup orang lain.

  1. Dari sudut Hukum

  1. Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang sampai ke pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan karena:

    • Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga sulit untuk pengusutan lebih lanjut.

    • Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena masyarakat Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.

    • Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, & kalaupun ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai pencegah kematian seorang pasien secara teknis.

Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk dipenuhi unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya.

  1. Apapun alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan. Namun dalam hal euthanasia hendaknya tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-macam.

  2. Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal & tidak mungkin lagi diobati.

  3. Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah terjadi di Belanda misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan. Bahkan pada beberapa kasus nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia.

  4. Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut.

Agar pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka ‘ius constituendum’ hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar kenyataan yang yang terjadi & disesuaikan perkembangan di bidang medis.

  1. Dari sudut Agama Katolik

  1. Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ahli-ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat, dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal-hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

  2. Sampai saat ini, euthanasia masih menjadi perdebatan dalam hidup umat manusia. Ada yang bersikap pro dan ada yang bersikap kontra terhadap euthanasia. Beberapa negara bahkan sudah melegalkan dan mengatur praktek euthanasia. Gereja sendiri secara tegas menolaknya dalam berbagai kesempatan. Ajaran Gereja selalu menolak pelaksanaan euthanasia. Declaration on Euthanasia (1980), Ensiklik Evengelium Vitae (1995), dan Katekismus Gereja Katolik (1997) dengan tegas menolak euthanasia. Euthanasia merupakan perlawanan terhadap martabat pribadi manusia dan hormat kepada Allah Sang Pemberi Hidup. Gereja Katolik selalu menekankan kesucian hidup manusia, penghargaan terhadap martabat pribadi manusia dan hormat kepada Allah. Euthanasia merupakan kejahatan melawan kehidupan.

  1. Saran

Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

Sebagai orang beragama, sudah pasti kita mengutuk euthanasia, karena menghilangkan nyawa orang lain, malah menghilangkan nyawa sendiri. Namun, walaupun legal, untuk melakukan tindakan itu diperlukan langkah yang panjang. Pasien akan diperiksa oleh psikiater, untuk melihat apakah pasien memutuskan untuk ingin mati itu, secara sadar, dipengaruhi orang lain, atau tidak sadar? Jika dalam kesadaran sendiri, baru bisa diproses.

Kalau menggunakan perspektif agama, memang euthanasia aktif itu menjadi pelanggaran yang cukup gawat. Namun…di indonesia, euthanasia pasif sudah jamak dilakukan. Ada kalanya dokter memutuskan untuk menghentikan terapi, karena tidak ada harapan lagi. Dan tindakan ini disetujui oleh keluarga pasien. Pasien sendiri sudah tidak bisa memutuskan apa-apa, karena dalam keadaan koma.



DAFTAR PUSTAKA




Hidup adalah suatu anugerah yang Tuhan berikan kepada kita. Kehidupan itu ada bahkan dalam diri bayi-bayi yang belum dilahirkan. Janganlah pernah tangan-tangan manusia mengakhiri suatu kehidupan. Saya yakin bahwa jerit tangis kanak-kanak yang kehidupannya diakhiri sebelum kelahiran mereka sampai ke telinga Allah.”

Beata Teresa dari Calcutta†


fb : axl_thebluesky@yahoo.co.id

fs : axl_thebluesky@yahoo.co.id

e-mail : axl_thebluesky@yahoo.co.id









If you enjoyed this post Subscribe to our feed

No Comment

Posting Komentar