air merupakan komponen esensial bagi kehidupan jasad hidup. Akan tetapi dapat juga merupakan suatu substansia yang membawa malapetaka, karena air dapat membawa mikroorganisme patogen dan zat-zat kimia yang bersifat racun (Tarigan, 1988).
Faktor-faktor biotis (dalam hal ini mikroba) yang terdapat di dalam air, menurut Suriawiria (1985) terdiri dari:
1.Bakteri
2.Fungi (jamur)
3.Mikroalga
4.Protozoa
5.Virus
Menurut Dwidjoseputro (1989), air tanah mangandung zat-zat anorganik maupun zat-zat organic yang merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme (kehidupan mikroorganisme). Mikroorganisme yang autotrof merupakan penghuni pertama dalam air yang mangandung zat-zat anorganik. Sel-sel yang mati merupakan bahan organic yang memungkinkan kehidupan mikroorganisme yang heterotrof. Temperatur juga ikut menentukan populasi mikroorganisme di dalam air. Pada temperature sekitar 30oC merupakan temperatur yang baik bagi kehidupan bakteri pathogen yang berasal dari hewan maupun manusia. Sinar matahari (terutama sinar ultraviolet) memang dapat mematikan bakteri, akan tetapi daya tembus sinar ultraviolet ke dalam air tidak maksimal. Air yang berarus deras kurang baik bagi kehidupan bakteri. Hal ini berkaitan dengan tidak maksimalnya perkembangbiakan bakteri, karena kebanyakan bakteri memerlukan media/substrat yang tenang untuk perkembangbiakannya (Dwijoseputro, 1989).
Air sumur pada umumnya lebih bersih daripada air permukaan, karena air yang merembes ke dalam tanah itu telah difiltrasi (disaring) oleh lapisan tanah yang dilewatinya, namun kebersihan air secara kasat mata belum tentu mengindikasikan terbebasnya air tersebut dari kontaminasi bakteri, kebersihan dan kontaminasi bakteri pada air sumur sangat berkaitan erat dengan lingkungan sekitar sumur (Nurdin, 2007).
Temperature yang optimum sepanjang tahun di Indonesia ini menyebabkan air di alam terbuka selalu mengandung mikroorganisme
Kandungan mikroorganisme dalam air alami sangat berbeda tergantung pada lokasi dan waktu. Apabila air merembes dan meresap mealalui tanah akan membawa sebagaian mikroorganisme bagian tanah yang lebih dalam. Air tanah pada umumnya paling sedikit mengandung mikroorganisme dan air tanah yang terdapat pada bagian yang dalam sekali hampir tidak mengandung mikroorganisme. Sebaliknya air permukaan sering banyak mengandung mikroorganisme yang berasal dari tanah dan dari organisme yang terdapat di danau-danau dan sungai-sungai. Kehadiran mikroba di dalam air akan mendatangkan keuntungan dan kerugian (Dwijoseputro, 1989).
Mikroorganisme Patogen yang dapat Mengkontaminasi Air
Mikroorganisme patogen dalam air dapat masuk ke dalam tubuh dengan perantaraan air minum atau infeksi pada luka yang terbuka. Mikroorganism ini umumnya tumbuh dengan baik di dalam saluran pencernaan keluar bersama feses, bakteri ini disebut bakteri coliform (Tarigan, 1988). Adanya hubungan antara tinja dengan coliform,maka bakteri ini dijadikan indikator alami kehadiran materi fekal. Artinya, jika pada suatu substrat atau benda didapatkan bakteri ini maka langsung ataupun tidak langsung substrat atau benda tersebut sudah dikenal atau dicemari oleh materi fekal. Selain itu dijelaskan pula bahwa ada kesamaan sifat dan kehidupan antara bakteri coliform dengan bakteri lain penyebab penyakit perut, tifus, paratifus, disentri dan kolera. Oleh karena itu kehadiran bakteri coliform dalam jumlah tertentu didalam sutau substrat ataupun benda, misalnya air dan bahan makanan sudah merupakan indikator kehadiran bakteri penyakit lainnya.
Kelompok bakteri coliform antara lain Eschericia coli, Enterrobacter aerogenes, dan Citrobacter fruendii. Keberadaan bakteri ini dalam air minum juga menunjukkan adanya bakteri patogen lain, misalnya Shigella, yang bisa menyebabkan diare hingga muntaber (Kompas Cyber Media, 2003 dalam Kompas.com).
Menurut Supardi dan Sukamto (1999), bakteri coliform dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu.
a.Coliform fekal, misalnya E. coli, merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan atau manusia.
b.Coliform non-fekal, misalnya E. aeroginosa, biasanya ditemukan pada hewan atau tanaman yang telah mati.
Bakteri E. coli memiliki kemampuan untuk memfermentasikan kaldu laktosa pada temperatur 37° Celcius dengan membentuk asam dan dan gas dalam waktu 48 jam. Sejak diketahui bahwa E. coli tersebar dalam semua individu, analisis bakterialogis terhadap air minum ditunjukkan dengan kehadiran bakteri tersebut. Walaupun adanya bakteri tersebut tidak dapat memastikan adanya bakteri patogen secara langsung, namun dari hasil yang didapat memberikan kesimpulan bahwa E. Coli dalam junlah tertentu dalam air dapat digunakan sebagai indikator adanya bakteri yang patogen.
Aerobacter dan Klebsiela yang biasa disebut golongan perantara, memiliki sifat Coli, dan lebih banyak didapatkan dalam habitat tanah dan air daripada dalam usus, sehingga disebut “nonfekal” dan umumnya tidak patogen. Pencemaran bakteri fekal tidak dikehendaki, baik dari segi estetika, sanitasi, maupun kemungkinan terjadinya infeksi yang berbahaya. Jika dalam 100 ml air minum terdapat 500 bakteri Coli, mungkin terjadi penyakit gastroenteritis yang segera dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh, sehingga dapat tinggal dalam blander (cystitis) dan pelvis (pyelitis), ginjal dan hati.
Beberapa macam mikroorganisme patogen yang mengkontaminasi air, antara lain:
1.Salmonella typhi, adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, tidak membentuk spora namun bersifat patogen, baik pada manusia ataupun hewan. Dapat menyebabkan demam typhoid (typoid fever). Sebenarnya penyakit demam typoid dapat dipindahkan dengan perantara makanan yang terkontaminasi dan dengan kontak langsung dengan si penderita. Namun yang paling umum sebagai fakta penyebab adalah air. Air dapat terkontaminasi oleh bakteri ini karena kesalahan metode pemurnian air atau kontaminasi silang (Cros contaminant) antara pipa air dengan saluran air limbah (Tarigan, 1988).
2.Clostridium prefringens adalah bakteri gram positif pembentuk spora yang sering ditemukan dalam usus manusia, tetapi kadang-kadang juga ditemukan di luar usus manusia (tanah, debu, lingkungan dan sebagainya)(Dewanti, Tanpa tahun).
3.Escherichia coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang yang tidak membentuk spora dan merupakan flora normal di dalam usus. E.coli termasuk bakteri komensal yang umumnya bukan patogen penyebab penyakit namun bilamana jummlahnya melampaui normal maka dapat pula menyebabkan penyakit (Dewanti, Tanpa tahun). E. Coli merupakan salah satu bakteri coliform.
4.Leptospira merupakan bakteri berbentuk spiral dan lentur yang merupakan penyebab penyakit leptosporosis. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis atau penyakit hewan yang bisa berpindah ke manusia. Pada umumnya penyebaran bakteri ini adalah pada saat banjir.(Anonim, Tanpa tahun).
5.Shigella dysentriae adalah basil gram negatif, tidak bergerak. Bakteri ini menyebabkan penyakit disentri (mejan). Spesies lain seperti S. Sonnei dan S. Paradysentriae juga menyebabkan penyakit disentri (Dwijoseputro, 1976).
6.Vibrio comma adalah bakteri yang berbentuk agak melengkung, gram negatif dan monotrik. Bakteri ini menyebabkan penyakit kolera yang endemis di indonesia dan sewaktu-waktu berjangkit serta memakan banyak korban (Dwijoseputro, 1976).
Kualitas Air
Pengadaan air bersih untuk kepentingan rumah tangga harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan sesuai peraturan Internasional (WHO dan APHA). Kualitas air bersih di Indonesia sendiri harus memenuhi persyaratan yang tertuang di dalam peraturan Menteri Kesehatan RI No. 173/Men. Kes/Per/VIII/77. Menurut Suriawiria (1985), kualitas tesebut menyangkut:
1.Kualitas Fisik, meliputi kekeruhan, temperatur, warna, bau, dan rasa.
2.Kualitas Kimia, yaitu yang berhubungan dengan adanya ion-ion senyawa ataupun logam yang membahayakan dan pestisida.
3.Kualitas Biologi yaitu berhubungan dengan kehadiran mikroba patogen (penyebab penyakit), pencemar, dan penghasil toksin.
Kandungan bakteri E. Coli dalam air berdasarkan ketentuan WHO (1968) dalam Dwijoseputro (1989), dalam hal jumlah maksimum yang diperkenankan per 100 ml adalah 1000, air untuk kolam renang 200, dan air minum 1. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air secara biologis ditentukan oleh kehadiran bakteri E. Coli di dalamnya. Sumur merupakan salah satu penampungan air yang utama bagi penduduk perkampungan. Dengan demikian air dalam sumur tersebut harus memnuhi syarat air yang baik untuk dikonsumsi. Agar air dalam sumur tersebut berkualitas baik maka sebaiknya jarak sumur dan septitank kurang lebih 10 meter. Menurut Setyawati (2007) dalam penelitianya menjelaskan bahwa kandungan bakteri yang terdapat dalam air sumur dipengaruhi oleh konstruksi sumur, aktivitas domestik sekitar sumur, cara penggunaan sumur, dan pemeliharan sumur. Berdasarkan hasil penelitian tersebut konstruksi sumur paling berpengaruh terhadap kandungan bakteri di dalam air sumur.
Analisis Mikrobiologi Air
Permukaan air yang kelihatannya jernih dan bersih, belum tentu air tersebut bebas dari kontaminan. Bisa saja air ini terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Mikroorganisme kontaminan tersebut dapat dideteksi dengan menggunakan metode-metode laboratorium. Pengujian macam-macam mikroorganisme patogen dalam air minum tidaklah praktis (langsung).
Analisis yang digunakan dalam pemeriksaan mikrobiologi antara lain:
1.Total Count
Total count bakteri, ditentukan berdasarkan penanaman bahan dalam jumlah dan pengenceran tertentu ke dalam media yang umum untuk bakteri. Setelah diinkubasikan pada suhu kamar selama waktu maksimal 4 x 24 jam, dilakukan perhitungan koloni. Total count fungi, dilakukan dengan metode yang sama kecuali suhu inkubasi 28 ± 1oC. Pada permukaan media pertumbuhan untuk fungi ditambahkan asam laktat 3% sebelum memasukkan sampel untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
2.Penentuan Nilai IPB (Indeks Pencemar Biologis)
Makin tinggi nilai IPB, maka makin tinggi kemungkinan deteriosasi/korosi materi di dalam sistem pabrik (logam-logam yagn mengandung Fe dan S) ataupun terhadap kemungkinan adanya kontaminasi badan air oleh organisme patogen.
Perhitungan Nilai Total Coliform
Coliform total ditentukan dengan teknik MPN (Most Probable Number) atau JPT (Jumlah Perkiraan Terdekat) dan dengsan metode penyaring membran. MPN merupakan metode penentuan jumlah bakteri yang tumbuh pada pengenceran beberapa seri tabung dengan tabel MPN coliform. Metode MPN ini lebih baik bila dibandingkan dengan metode hitung cawan, karena lebih sensitif dan dapat mendeteksi coliform dalam jumlah yang sangat rendah di dalam sampel air (Supardi dan Sukamto, 1999). Uji kualitas Coliform terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) Uji pendugaan, (2) Uji penegasan, (3) Uji lengkap. Menurut fardiaz (1993), uji kualitas koliform tidak harus dilakukan swecara lengkap seperti di atas. Hal ini twergantung dari berbagai faktor, seperti waktu, mutu, sampel yang diuji, biaya, tujuan analisis, dam faktor-faktor lainnya.
Metode MPN ini menggunakan medium cair di dalam tabung reaksi, yang perhitungannya dilakukan berdasarkan jumlah tabung yang positif setelah diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Pengamatan tabung positif dapat dilihat dengan mengamati timbulnya kekeruhan atau terbentuknya gas pada tabung Durham untuk mikroba pembentuk gas, seperti E. coli. Metode MPN ini biasanya dilakukan untuk menghitung jumlah mikroba di dalam sampel cair, dapat pula dilakukan untuk menghitung jumlah mikroba untuk sampel yang bentuknya padat, dengan terlebih dahulu membuat suspensi 1:10 dari sampel tersebut (Siswandi, 2000).
Perhitungan jumlah bakteri coliform dilakukan dengan rumus :
MPN mikroba = Nilai MPN X 1/pengenceran tabung di tengah.
Herba tegak, 1 tahun atau menahun, sering kuat dan bercabang lebar, tinggi 1-2,5 m. Bagian batang yang muda berambut halus. Daun tersebar, atau 2-3 bersama-sama dan kemudian berbeda dalam besarnya, tangkai 0,5- 2,5 cm panjangnya ; helaian daun bulat telur memanjang atau ellips bentuk lanset, dengan pangkal meruncing dan ujung runcing, gundul, 1,5-12 kali 1-5 cm. Bunga mengangguk, tangkai 10-18 mm. Tabung kelopak berusuk bentuk lonceng, gundul, tinggi 2-3 mm, pada buahnya membesar sekali, dengan 5 gigi. Mahkota bentuk roda, berbagi 5 dalam, tinggi tabung 2 mm, tepian terbentang, luas, garis tengah 1,5-2 cm, taju runcing. Kepala sarl semula ungu, kemudian hijau perunggu. Buah buni bentuk garis lanset, merah cerah, rasa pedas. Dari Amerika tropis; sering ditanam untuk buahriya dan tunas yang muda, kadang-kadang seolah-olah liar.
Manfaat
Jenis sayuran ini banyak diusahakan karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Orang Indonesia yang menyukai sambal dan masakan yang pedas banyak membutuhkan cabai setiap hari.
Syarat Tumbuh
Cabai dapat hidup pada daerah yang memiliki ketinggian antara 01.200 m dpl. Berarti tanaman ini toleran terhadap dataran tinggi maupun dataran rendah. Jenis tanah yang ringan ataupun yang berat tak ada masalah asalkan diolah dengan baik. Namun, untuk pertumbuhan dan produksi terbaik, scbaiknya ditanam pada tanah berstruktur remah atau gembur dan kaya bahan organik. Sedang pH tanah yang dikehendaki antara 6,0-7,0.
Pedoman Budidaya
Benih Benih cabai dapat diperoleh dari buah yang tua yang bentuknya sempurna, tidak cacat, dan bebas hama-penyakit. Belahlah buah cabai secara memanjang. Keluarkan bijinya dan dijemur. Biarkan hingga kering. Biji seperti ini bisa langsung disemai. Apabila ingin disimpan lama sebaiknya biarkan buah cabai tetap utuh dan jemur hingga kering. Bila sudah ingin disemai, bijinya yang kering dikeluarkan. Apabila benih terlanjur lama disimpan maka sebelum disemaikan direndam dahulu dalam air hangat. Biarkan sebentar. Nanti akan terlihat sebagian biji terendam dan sebagian mengapung. Biji yang mengapung dibuang karena biji tersebut sudah rusak dan bila dipaksakan ditanam akan sulit tumbuh. Biji yang terpilih untuk ditanam sebaiknya mengalami perlakuan benih dahulu. Benih direndam dalam larutan kalium hipoklorit 10 % sekitar 10 menit. Tindakan ini sebagai penangkal penyakit virus yang sering terdapat pada benih. Benih juga dapat direndam dalam air hangat (suhu 50°C) selama semalam. Tujuan perendaman agar benih cepat tumbuh. Kebutuhan benih cabai per hektar ialah antara 200-500 g. Untuk cabai hibrida sebaiknya memakai benih yang langsung dibeli di toko. Bila mengambil benih dari buah yang ditanam sendiri maka hasil panen bei-ikutnya akan jauh berkurang. Tanaman cabai sebaiknya ditanam dalam bentuk bibit. Untuk itu diperlukan persemaian. Persemaian sederhana dengan atap daun kelapa, daun pisang, atau alang-alang bisa dipakai. Pada daerah dataran tinggi atau daerah yang sering ditiup angin kencang, sebaiknya dibuat atap yang kekuatannya memadai. Misalnya, atap plastik yang lumayan kokoh. Arah bedengan persemaian dibuat menghadap ke timur. Tanah bedengan diolah agar gembur. Tambahkan pupuk kandang dengan dicampur merata. Tebarkan biji cabai dan siram dengan sprayer halus agar tumbuh baik. Rawat dan siramilah bibit secara teratlir. Setelah berumur 30-40 hari setelah semai bibit siap ditanam di lahan. Penanaman Cabai bisa di tanam di lahan sawah atau tegalan. Bila ditanam di lahan sawah sebaiknya di akhir musim hujan sehingga jumlah air di lahan tidak berlebihan. Sedangkan bila ditanam di tegalan saat yang tepat adalah musim hujan. Pemilihan musim ini penting agar kebutuhan air tanaman cabai tersedia dengan tepat. Tanah dibersihkan dari gulma dan dicangkul atau dibajak agar gembur. Bila pH tanah kurang dari 5,5, tambahkan kapur. Untuk satu hektar tanah asam dibutuhkan 1-1,5 ton kapur. Kapur akan memberikan pengaruh terbaik bila diberikan 1 bulan sebelum tanam. Selanjutnya boleh dipilih apakah cabai akan ditanam dengan sistem baris tunggal (single row) atau sistem beberapa baris pada bedengan. Sistem baris tunggal banyak dipakai petani cabai dataran tinggi serta dataran rendah yang tergolong medium karena cocok dengan tanah yang bertekstur ringan atau sedang. Sistem beberapa baris pada bedengan lebih umum digunakan petani dataran rendah karena sistem tanahnya yang bertekstur liat hingga berat. Jarak tanam yang digunakan pada sistem baris tunggal adalah (60-70 cm x 30-50 cm). Sedangkan untuk sistem bedengan, jarak tanamnya (40-50 cm x 30-40 cm). Pada setiap titik dibuat lubang tanaman. Ukuran lubang tak perlu besar yang penting bisa memuat benih sapihan beserta tanah yang membalut perakarannya.
Pemeliharaan
Pemeliharaan Benih sapihan biasanya tumbuh terus dengan baik. Bila ada tanaman yang mati, sebaiknya segera disulam. Tujuannya agar pertumbuhan tanaman susulan tidak terlalu jauh berbeda dengan yang lebih dahulu tumbuh baik. Tindakan pemeliharaan lain untuk tanaman cabai yang penting adalah penyiangan, penggemburan, dan pengairan. Penyiangan dilakukan dengan kored atau dengan langsung mencabut. Penyiangan dengan kored berfungsi juga sebagai penggembur tanah. Pengairan dilakukan terutama pada awal penanaman atau pada saat air hujan tak mencukupi kebutuhan tanaman. Pemupukan: Kebutuhan pupuk kandang untuk setiap hektar lahan cabai adalah sekitar 20 ton. Selain itu pupuk buatan juga diberikan. Pupuk yang biasa diberikan adalah Urea dengan dosis 225 kg/ha, TSP dengan dosis 100-150 kg/ha, dan KCl dengan dosis 100-150 kg/ha. Pupuk Urea diberikan tiga kali. Sepertiga bagian di awal tanam, sepertiga berikutnya di bulan pertama dan kedua. Sebaiknya pupuk diberikan dengan cara ditugal. Pemupukan pertama merupakan gabungan dari Urea, TSP, dan KCI.
Hama dan Penyakit
Jenis-jenis hama yang banyak menyerang tanaman cabai antara lain kutu daun dan trips. Kutu daun menyerang tunas muda cabai secara bergerombol. Daun yang terserang akan mengerut dan melingkar. Cairan manis yang dikeluarkan kutu, membuat semut dan embun jelaga berdatangan. Embun jelaga yang hitam ini sering menjadi tanda tak langsung serangan kutu daun. Pengendalian kutu daun (Myzus persicae Sulz.) dengan memberikan Furadan 3 G sebanyak 60-90 kg/ha atau sekitar 2 sendok makan/10 m2 area. Apabila tanaman sudah tumbuh semprotkan Curacron 500 EC, Nudrin 215 WSC, atau Tokuthion 500 EC. Dosisnya 2 ml/liter air. Serangan hama trips amat berbahaya bagi tanaman cabai, karena hama ini juga vektor pembawa virus keriting daun. Gejala serangannya berupa bercak-bercak putih di daun karena hama ini mengisap cairan daun tersebut. Bercak tersebut berubah menjadi kecokelatan dan mematikan daun. Serangan berat ditandai dengan keritingnya daun dan tunas. Daun menggulung dan sering timbul benjolan seperti tumor. Hama trips (Thrips tabaci) dapat dicegah dengan banyak cara. Pemakaian mulsa jerami, pergiliran tanaman, penyiangan gulma atau rumputan pengganggu, dan menggenangi lahan dengan air selama beberapa waktu. Pemberian Furadan 3 G pada waktu tanam seperti pada pencegahan kutu daun mampu mencegah serangan hama trip juga. Akan tetapi, untuk tanaman yang sudah cukup besar, dapat disemprot dengan Nogos 50 EC, Azodrin 15 WSC, Nuracron 20 WSC, dosisnya 2-3 cc/1. Adapun jenis-jenis penyakit yang banyak menyerang cabai antara lain antraks atau patek yang disebabkan oleh cendawan Colletotricum capsici dan Colletotricum piperatum, bercak daun (Cercospora capsici), dan yang cukup berbahaya ialah keriting daun (TMV, CMVm, dan virus lainnya). Gejala serangan antraks atau patek ialah bercak-bercak pada buah, buah kehitaman dan membusuk, kemudian rontok. Gejala serangan bercak daun ialah bercak-bercak kecil yang akan melebar. Pinggir bercak berwama lebih tua dari bagian tengahnya. Pusat bercak ini sering robek atau berlubang. Daun berubah kekuningan lalu gugur. Serangan keriting daun sesuai namanya ditandai oleh keriting dan mengerutnya daun, tetapi keadaan tanaman tetap sehat dan segar. Selain penyakit keriting daun, penyakit lainnya dapat dicegah dengan penyemprotan fungisida Dithane M 45, Antracol, Cupravit, Difolatan, Trimiltoa, dan Zincofol. Konsentrasi yang digunakan cukup 0,2-0,3%. Bila tanaman diserang penyakit keriting daun maka tanaman dicabut dan dibakar. Sedang pengendalian keriting daun secara kimia masih sangat sulit.
Panen dan Pasca Panen
Panen Cabai dataran rendah lebih cepat dipanen dibanding cabai dataran tinggi. Panen pertama cabai dataran rendah sudah dapat dilakukan pada umur 70-75 hari. Sedang di dataran tinggi panen baru dapat dimulai pada umur 4-5 bulan. Setelah panen pertama, setiap 3-4 hari sekali dilanjutkan dengan panen rutin. Biasanya pada panen pertama jumlahnya hanya sekitar 50 kg. Panen kedua naik hingga 100 kg. Selanjutnya 150, 200, 250, ..., . hingga 600 kg per hektar. Setelah itu hasilnya menurun terus, sedikit demi sedikit hingga tanaman tidak produktif lagi. Tanaman cabai dapat dipanen terus-menerus hingga berumur 6-7 bulan. Cabai yang sudah berwama merah sebagaian berarti sudah dapat dipanen. Ada juga petani yang sengaja memanen cabainya pada saat masih muda (berwarna hijau). Kriteria panennya saat ukuran cabai sudah besar, tetapi masih berwama hijau penuh.
Data debit atau aliran sungai merupakan informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air. Debit puncak (banjir) diperlukan untuk merancang bangunan pengendali banjir. Sementara data debit aliran kecil diperlukan untuk perencanaan alokasi (pemanfaatan) air untuk berbagai macam keperluan, terutama pada musim kemarau panjang. Debit aliran rata-rata tahunan dapat memberikan gambaran potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu daerah aliran sungai.
Debit adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/dt). Dalam laporan-laporan teknis, debit aliran biasanya ditunjukkan dalam bentuk hidrograf aliran. Hidrograf aliran adalah suatu perilaku debit sebagai respon adanya perubahan karakteristik biogeofisik yang berlangsung dalam suatu DAS (oleh adanya kegiatan pengelolaan DAS) dan atau adanya perubahan (fluktuasi musiman atau tahunan) iklim lokal (Asdak, 1995).
Laju aliran permukaan adalah jumlah atau volume air yang mengalir pada suatu titik per detik atau per jam, dinyatakan dalam m3 per detik atau m3 per jam. Laju aliran permukaan dikenal juga dengan istilah debit. Besarnya debit ditentukan oleh luas penampang air dan kecepatan alirannya, yang dapat dinyatakan dengan persamaan :
Q = A V
dimana :
Q = debit air (m3/detik atau m3/jam)
A = luas penampang air (m2)
V = kecapatan air melalui penampang tersebut (m/detik)
(Arsyad, 1989).
Aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke dalam alur sungai berupa aliran permukaan, aliran air di bawah permukaan, aliran air bawah tanah dan butir-butir hujan yang langsung jatuh kedalam alur sungai. Debit aliran sungai akan naik setelah terjadi hujan yang cukup, kemudian akan turun kembali setelah hujan selesai. Gambar tentang naik turunnya debit sungai menurut waktu disebut hidrograf. Bentuk hidrograf suatu sungai tegantung dari sifat hujan dan sifat-sifat daerah aliran sungai yang bersangkutan (Arsyad,2006).
Sebagian besar debit aliran pada sungai kecil yang masih alamiah adalah debit aliran yang berasal dari air tanah atau mata air dan debit aliran air permukaan (air hujan). Dengan demikian aliran air pada sungai kecil pada umumnya lebih menggambarkan kondisi hujan daerah yang bersangkutan.
Sedangkan sungai besar, sebagian besar debit alirannya berasal dari sungai-sungai kecil dan sungai sedang diatasnya. Sehingga aliran air sungai besar tidak mesti menggambarkan kondisi hujan dilokasi yang bersangkutan. Aliran dasar pada sungai kecil terbentuk dari aliran mata air dan air tanah, sedang aliran dasar pada sungai besar dibentuk dari aliran dasar sungai-sungai kecil dan sedang diatasnya (Maryono, 2005).
2.Sedimentasi dan Erosi
Sedimentasi adalah hasil proses erosi, baik hasil erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai dan waduk. Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk (Asdak, 1995).
Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat yang mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai (DAS) dan masuk ke dalam suatu badan air secara umum disebut sedimen. Sedimen yang terbawa masuk ke dalam sungai hanya sebagian saja dari tanah yang tererosi dari tempatnya. Sebagian lagi dari tanah yang terbawa erosi akan mengendap pada suatu tempat di lahan bagian bawah tempat erosi pada DAS tersebut (Arsyad, 2006).
Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh aliran air akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti. Peristiwa pengendapan ini dikenal dengan peristiwa atau peroses sedimentasi. Sedimentasi adalah proses yang bertanggung jawab atas terbentuknuya dataran-dataran alluvial yang luas yang banyak terdapat di dunia, oleh karena memberikan keuntungan karena memberikan lahan untuk perluasan pertanian atau pemukiman. Akan tetapi, bagaimanapun juga sedimen yang dihasilkan oleh erosi yang cepat pada tanah-tanah yang salah kelola lebih banyak menimbulkan kerugian atau malapetaka bagi kehidupan manusia. Sedimen menyebabkan pendangkalan badan air tersebut, yang dapat menimbulkan kerugian karena mengurangi fungsi badan air yang mengalami pendangkalan tersebut (Arsyad, 2006).
Tanah yang terangkut oleh erosi umumnya mengandung unsur-unsur atau senyawa kimia dan pestisida dalam jumlah banyak. Bahan-bahan kimia tersebut akan melarut dalam air sungai, air danau, air waduk dan air laut di tepi pantai. Disamping itu sedimen yang melarut ini mengakibatkan kekeruhan yang tinggi, menurunnnya oksigen terlarut sehingga berakibat buruk bagi kehidupan ikan, menyuburkan pertumbuhan gulma air: disamping beberapa unsur yang terlarut bersifat meracun (nitrit dan bahan aktif pestisida) (Hakim dkk, 1986).
Aliran merupakan hal yang prinsip untuk pengangkutan sedimen pada tanah. Endapan-endapannya dapat dilihat hampir disemua tempat disebut alluvium, nama umum untuk pengendapan diluar laut. Sedimen berbeda dari tempat ke tempat lain tergantung pada tipe alirannya, energi yang tersedia untuk kerja dan sifat dari bahan sedimen (Munir, 1996).
Lahan kritis di Indonesia telah mencapai 28 juta hektar yang terdapat di kawasan hutan dan non-hutan. Namun, pendekatan berdasarkan daerah aliran sungai mempunyai potensi baik untuk dijadikan basis pengelolaan lahan kritis itu.
Hal ini beranjak dari kenyataan bahwa terjadinya erosi bisa diketahui dengan perubahan pola aliran sungai. Hingga sekarang ini, dengan pendekatan DAS (daerah aliran sungai), diketahui bahwa hampir semua sungai besar di tanah air dapat digolongkan kedalam DAS-DAS kritis. Bukti dari hal ini adalah terjadinya banjir kiriman yang melanda banyak daerah aliran sungai di seluruh tanah air yang merusak tidak hanya daerah pemukiman penduduk tetapi areal pertanian. Sebagai misal, banjir yang melanda beberapa kecamatan Indragiri Hilir, Jambi, dan Palembang sekitar bulan desember 1991 dan 1992 (Rahim,2003).
Kebanyakan lembah sungai berpenduduk padat dan tanah digunakan secara intensif. Potensi untuk penggunaan pertanian sangat bergantung pada keadaan hidrologi, keserasiannya untuk dialiri, bahaya kegaraman dan kesuburan tanah. Oleh karena itu di bagian hulu oleh kebanyakan daerah tadahan pembabatan hutan meningkat maka lepas sungai meningkat pula dan acapkali menyulitkan pengendalian banjir. Penghutanan kembali dan perlindungan hutan di daerah tadahan mutlak penting pada banyak negeri (Buringh, 1993).
3.Ph
pH adalah derajat keasaaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Yang dimaksudkan "keasaman" di sini adalah konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam pelarut air.
Nama pH berasal dari potential of hydrogen. Secara matematis, pH didefinisikan dengan :
pH = − log10[ H+ ]
Nilai pH berkisar dari 0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan netral apabila memiliki nilai pH=7. Nilai pH>7 menunjukkan larutan memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH<7>http://id.wikipedia.org/wiki/PH).
Pada aliran air (sungai) alamiah, pembentukan pH dalam aliran air tersebut sangat ditentukan oleh reaksi karbondioksida. Besarnya angka pH dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsur-unsur hara yang amat bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik. pH air juga mempunyai peranan penting bagi kehidupan ikan dan fauna lain yang hidup di perairan tersebut. Umumnya, perairan dengan tingkat pH yang lebih kecil daripada 4,8 dan lebih besar daripada 9,2 sudah dapat dianggap tercemar (Asdak, 1995).
Tingkat keasaman air atau sering juga dikatakan sebagai kekuatan asam (pH) termasuk parameter kualitas air. Air yang belum terpolusi biasanya berada pada skala Ph 6,0-8,0. Sebagai contoh, air hujan mempunyai pH sekitar 5,6, air laut pH 8,1, dan pH air di bawah pH 5,0 dinyatakan sebagai air tepolusi. Besar pH air dapat diukur dengen menggunakan pH meter (Situmorang, 2007).
Nilai pH 7 dikatakan netral karena pada air murni ion H+ terlarut dan ion OH- terlarut (sebagai tanda kebasaan) berada pada jumlah yang sama, yaitu 10-7 pada kesetimbangan :
H2O = H+ + OH-
Penambahan senyawa ion H+ terlarut dari suatu asam akan mendesak kesetimbangan ke kiri (ion OH- akan diikat oleh H+ membentuk air). Akibatnya terjadi kelebihan ion hidrogen dan meningkatkan konsentrasinya.
Umumnya indikator sederhana yang digunakan adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah Selain mengunakan kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja berdasarkan prinsip elektrolit / konduktifitas suatu larutan (http://id.wikipedia.org/wiki/PH).
4.BOD
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi.
Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam
BOD (Biochemical Oxygen Demand) menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jadi nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi (Fardiaz, 1992). Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 200C selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan setelah inkubasi. Pengukuran selama 5 hari pada suhu 200C ini hanya menghitung sebanyak 68 % bahan organik yang teroksidasi, tetapi suhu dan waktu yang digunakan tersebut merupakan standar uji karena untuk mengoksidasi bahan organik seluruhnya secara sempurna diperlukan waktu yang lebih lama, yaitu mungkin sampai 20 hari, sehingga dianggap tidak efisien.
Uji BOD mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah :
1)Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahanbahan organik atau bahan-bahan tereduksi lainnya yang disebut juga “intermediate oxygen demand”.
2)Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal 5 hari.
3)Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum dapat menunjukkan nilai total BOD melainkan hanya kira kira 68 % dari total BOD.
4)Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat di dalam air, sehingga hasil uji BOD menjadi kurang teliti.
Air yang hampir murni memiliki nilai BOD kira-kira 1 ppm, dan air yang mempunyai nilai BOD 3 ppm masih dianggap cukup murni, tetapi kemurnian air ini diragukan jika nilai BODnya mencapai 5 ppm atau lebih (Fardiaz, 1992).
5.COD
Untuk mengetahui jumlah bahan organik didalam air dapat dilakukan suatu uji yang lebih cepat daripada uji BOD, yaitu berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan. Uji tersebut disebut uji COD (chemical oxygen demand), yaitu suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya kalium dikhromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organic yang terdapat didalam air.
Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi daripada uji BOD karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Sebagai contoh, selulosa sering tidak terukur melalui uji BOD karena sukar dioksidasi melalui reaksi biokimia, tetapi dapat terukur melalui uji COD. 96 % hasil uji COD yang dilakukan selama 10 menit kira-kira akan setara dengan hasil uji BOD selama 5 hari.
Adanya senyawa khlor selain mengganggu uji BOD juga dapat mengganggu COD karena khlor dapat bereaksi dengan kalium dikhromat. Cara pencegahannya adalah dengan menambahkan merkuri sulfat yang akan membentuk senyawa kompleks dengan khlor, jumlah merkuri yang ditambahkan harus kira-kira sapuluh kali jumlah khlor di dalam contoh (Fardiaz, 1992).
Pengujian COD dilakukan untuk mengetahui jumlah senyawa organic yang dapat dioksidasi di dalam air tetapi dengan menggunakan senyawa kimia sebagai sumber oksigen. Senyawa kimia yang digunakan sebagai oksidator adalah pengoksida kuat kalium bikromat (K2Cr2O7), karena senyawa ini akan dapat mengoksidasi senyawa organik menjadi senyawa CO2 dan H2O dengan persamaan
reaksi
CxHyOz + Cr2O72- + H+CO2 + H2O + Cr3+
Penentuan COD di laboratorium dilakukan secar titrasi, dimana banyaknya bikromat yang diperlukan dalam reaksi adalah setara dengan banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik. Dalam reaksi ini senyawa bikromat adalah sebagai sumber oksigen untuk mengoksidasi senyawa organik. Kelebihan penentuan COD adalah sangat cepat, yaitu hanya dibutuhkan waktu 1 – 2 jam untuk analisis (Situmorang, 2007).
6.Suhu Air
Air sering digunakan sebagai medium pendingin dalam berbagai proses industri. Air pendingin tersebut setelah digunakan akan mendapatkan panas dari bahan yang didinginkan, kemudian dikembalikan ke tempat asalnya yaitu sungai atau sumber air lainnya. Air buangan tersebut mungkin mempunyai suhu lebih tinggi dari suhu asalnya. Kenaikan suhu air akan menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut :
1)Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun.
2)Kecepatan reaksi kimia meningkat.
3)Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
4)Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya akan mati.
(Fardiaz, 1992)
Aktivitas manusia di dalam industri seperti pada pengoprasian peralatan industri membutuhkan air sebagai bahan pendingin mesin-mesin, sehingga suhu air buangan yang berasal dari industri menjadi lebih panas bila dibandingkan dengan suhu air yang terdapat di lingkungan asalnya. Mengalirkan air yang berasal dari buangan industri dalam keadaan panas ke dalam air buangan akan meningkatkan suhu air. Apabila suhu air meningkat maka kelarutan oksigen di
dalam air juga akan semakin menurun. Perubahan panas yang sangat besar pada air yang disebabkan oleh industri sangat berbahaya terhadap kehidupan organism di dalam air karena sangat sedikit kehidupan air yang tahan terhadap air panas.Akan tetapi, apabila perubahan panas ini hanya disebabkan oleh perubahan musim, misalnya musim panas dan musim dingin, maka prubahan panas ini masih bisa ditoleransi oleh beberapa jenis makhluk hidup di dalam air. Kenaikan suhu air dapat meningkatkan daya mematikan (daya racun) senyawa kimia di dalam air
(Situmorang, 2007).
Secara umum, kenaikan suhu perairan akan mengakibatkan kenaikan aktivitas biologi, dan pada gilirannya, memerlukan lebih banyak oksigen di dalam perairan tersebut. Hubungan antara suhu air dan oksigen biasanya berkorelasi negativ, yaitu kenaikan suhu di dalam air akan menurunkan tingkat solubilitas oksigen dan dengan demikian menurunkan kemampuan organisme akuatis dalam memanfaatkan oksigen yang tersedia untuk berlangsungnya proses-proses biologi di dalam air.
Kenaikan suhu air suatu perairan alamiah umumnya disebabkan oleh aktivitas penebangan vegetasi di sepanjang tebing aliran air tersebut. Dengan adanya penebangan atau pembukaan vegetasi di sepanjang tebing aliran tersebut mengakibatkan lebih banyak cahaya matahari yang dapat menembus ke permukaan aliran air tersebut dan, pada gilirannya akan meningkatkan suhu didalam air (Asdak, 1995).
7.Kualita air / Baku Mutu Air
Berdasarkan PP no 82 tahun 2001 pasal 8 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, klasifikasi dan kriteria mutu air ditetapkan menjadi 4 kelas yaitu:
Kelas 1 : yaitu air yang dapat digunakan untuk bahan baku air minum atau peruntukan lainnya mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut
Kelas 2 : air yang dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, budidaya ikan air tawar, peternakan, mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Kelas 3 : air yang dapat digunakan untuk budidaya ikan air tawar, peternakan, pertanian, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Kelas 4 : air yang dapat digunakan untuk mengairi pertanaman/pertanian, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. (Situmorang, 2007).
Standar kualitas air minum yang pertama kali dibuat oleh manusia adalah bebas dari kekeruhan, rasa dan bau. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kini manusia telah membuat standar kualitas air minum yang layak untuk diminum serta tidak berdampak negativ bagi kesehatan. Di Indonesia standar kualitas air ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 20 Tahun 1990 yang menetapkan kualitas air melalui 4 golongan yaitu:
1)Kualitas air golongan A sebagai baku mutu air untuk air minum tanpa pengolahan terlebih dahulu.
2)Kualitas air golongan B sebagai baku mutu air untuk air baku.
3)Kualitas air golongan C sebagai baku mutu air untuk perikanan dan peternakan.
4)Kualitas air golongan D sebagai baku mutu air untuk keperluan pertanian dan dapat dimanfaatkan untuk usaha di perkotaan, industri, Pembangkit Listrik Tenaga Air.
Agar air layak untuk dikonsumsi sebagai air minum maka air yang berasal dari berbagai jenis sumber air harus terlebih dahulu diolah. Secara umum, pengolahan air dapat digolongkan menjadi 3 bagian, yaitu (1) pengolahan untuk keperluan domestik misalnya air konsumsi rumah tangga, (2) pengolahan untuk keperluan khusus industri, dan (3) pengolahan air untuk layak dibuang ke lingkungan. Tingkat kesulitan pengolahan air untuk konsumsi manusia tergantung pada jenis sumber air. Misalnya, air untuk keperluan domestik harus di desinfektasi untuk menghilangkan mikroorganisme penyebab penyakit dan kesadahan air yang disebabkan oleh kehadiran ion kalsium dan magnesium masih bisa ditoleransi. Akan tetapi, berbeda dengan air yang akan digunakan untuk industri, misalnya untuk pendingin mesin-mesin industri, kesadahan air harus dihilangkan serendah mungkin agar tidak terjadinya pengendapan di dalam mesin dan kehadiran bakteri dan mikroorganisme di dalam air tidak menjadi masalah. Demikian dengan air limbah yang akan dikembalikan kedalam air sungai maka pengolahannya juga harus lebih ketat agar semua senyawa pencemar yang membahayakan lingkungan dapat dihilangkan dan tidak mencemari lingkungan (Situmorang, 2007).
Sungai dan danau yang dijumpai hampir di semua tempat pada mulanya, sebelum mendapat gangguan manusia, mempunyai kualitas air yang bersifat alamia. Debu, mineral-mineral atmosfer dan berbagai macam gas banyak yang terlarut di dalam air hujan yang pada gilirannya akan menentukan status kualitas air alamiah badan air atau sungai tersebut. Mineral dan gas yang umum ditemukan terlarut dala air hujan adalah karbon, sulfur, sodium, kalsium, nitrogen, oksigen dan silikon. Selama barlangsungnya proses intersepsi air hujan, air lolos dan air aliran batang akan membawa serta lebih banyak bahan mineral dan unsur-unsur organik dari tubuh vegetasi (daun dan batang/cabang).
Seiring dengan perjalanan air yang telah bercampur dengan mineral tersebut ke permukaan tanah maka kemudian akan terjadi pencampuran dan pertukaran mineral dan unsur-unsur hara yang bersal dari komponen-komponen fauna dan flora di dalam tanah. Ketika pada akhirnya air tersebut muncul sebagai aliran air sungai, maka unsure-unsur organik dan non-organik yang terlarut dalam aliran sungai tersebut merupakan perwakilan dari unsur-unsur mineral yang ada dalam DAS atau sub-DAS yang menjadi kajian. Komponen-komponen pembentuk status kualitas air akan mengalami perubahan lebih lanjut karena air tersebut akan berinteraksi dengan berbagai jenis vegetasi yang tumbuh di pingirpinggir sungai (riparian vegetation) (Asdak, 1995).
Tabel 1 : Pembagian kelas dengan parameter fisika dan kimia anorganik berdasarkan PP no 82 tahun 2001.
I was a friendly and not arrogant, and I'm now in college at the University of Padjadjaran in Bandung, and now still terusmencari for science. if you have some knowledge, you can send this to my blog.
well